Rasulullah
bersabda, “Di antara yang aku khawatirkan atasmu sepeninggalku kelak adalah
terbukanya untukmu keindahan dunia dan perhiasannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Bukan
berarti kita dilarang untuk mencari harta. Islam sendiri memberikan peluang
kepada umatnya untuk mencari kekayaan dunia. “Dan carilah dari anugerah Allah
kebahagiaan negeri akhirat, dan jangan melupakan bagianmu dari kenikmatan
duniawi, dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan jangan kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Qs Al-Qashash: 77).
Tetapi
Islam memberikan warning agar manusia tidak menjadikan harta sebagai tujuan
akhir (Qs Fathir: 5). Tujuan hidup sebenarnya adalah kepuasan ruhani yang
mengantarkan pada kebahagian di akhirat. “Dan sungguh kehidupan akhirat lebih
baik bagimu dari kehidupan dunia” (Qs Ad-Dluha: 4).
Musthafa
As-Siba’i dalam ‘Isytiraqiyatu Al-Islam’ menjelaskan beberapa rambu
agama dalam mencari harta.
Pertama,
tidak menggunakan cara jahat dan kejam (bi ad-dhulmi). Tidak ada agama
di dunia yang membenarkan upaya mencari harta dengan cara merampok, mencuri,
atau menyerobot hak orang lain.
Kedua,
tidak menggunakan cara curang dan culas (bi al-ghasysyi). Dipastikan,
tidak ada orang yang senang ditipu. Penipu sekalipun akan marah saat menjadi
korban penipuan. Tetapi kesulitan hidup kerap membuat orang buta mata dan tuli
telinga. Tidak sedikit orang sekarang yang begitu ‘kreatif’ dalam melancarkan
penipuan.
Ketiga,
tidak menggunakan cara yang merugikan dan membahayakan (bi al-idlrar).
Berbisnis narkoba tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain
dan lingkungan. Demikian pula bisnis perjudian, pelacuran atau jual-beli
manusia (trafficking) sebagaimana marak belakangan.
Berjuta
cara bisa dilakukan untuk mendapatkan harta halal ketimbang harus menghalalkan
segala cara. Bumi Allah terlalu luas asal manusia mau berdaya usaha. “Dialah
yang menjadikan bumi ini mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala penjurunya,
dan makanlah sebagian rezeki Allah. Dan hanya kepada Allah kamu akan
dikembalikan” (Qs Al-Mulk: 15).
Firman
Allah di ayat lain, “Allah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal
bisa berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari karunia
Allah. Dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (Qs Al-Jatsiyah: 12).
Harus
dicatat, tidak ada kebaikan yang lahir dari harta haram. Ali bin Abi Thalib
menjelaskan beberapa dampak negatif dari harta yang diperoleh secara haram.
Pertama,
melemahkan gairah ibadah (al-wahanu fi al-ibadah). Mungkinkah ada pegiat
‘dunia hitam’ yang beribadah secara ikhlas dan benar?
Mungkin
sekali koruptor rajin melakukan shalat, bahkan pergi haji atau umrah ke Tanah
Suci. Tetapi, yakinlah, ibadahnya itu sebatas kulit, tidak khusuk, sehingga
tidak menembus jantung kemanusiaannya.
Kedua,
harta haram akan menimbulkan kesumpekan hidup (ad-dloiqu fi al-ma’isyah).
Dipastikan, pelaku kejahatan akan dilanda takut dan resah kalau-kalau
perbuatannya itu ketahuan.
Ketiga,
harta haram akan mengurangi kenikmatan (an-naqsu fi al-ladzdzat). Tidak
ada ceritanya kebahagiaan dibangun di atas harta haram. Alih-alih menikmati
harta, pemiliknya justru selalu gundah gulana dan merasa bersalah.
Kaum beriman jangan sampai menggadaikan agama demi harta. Senantiasa mari
langitkan setiap urusan dunia, agar kita termasuk yang dipuji Allah,
“Orang-orang yang bisnis dan perniagaannya tidak sampai melalaikannya dari
mengingat Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Mereka takut kepada
hari dimana hati dan penglihatan menjadi goncang” (Qs An-Nur: 37).
(Ringkasan
dari Republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar